JAKARTA, Limadetik.com – Kejaksaan Agung menahan tersangka dugaan korupsi pembangunan Tower Bank Jabar di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93 Jakarta Selatan, Tri Wiyasa, ke Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejagung. Tri Wiyasa merupakan Direktur Utama PT Comradindo Lintasnusa Perkara (CLP) dan sempat masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). “Kami menetapkan Tri Wiyasa sebagai tersangka pada Rabu (17/1), dan langsung ditahan sampai 20 hari ke depan,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Adi Toegarisman di Jakarta, Rabu (17/1) malam.
Pihaknya menetapkan Tri Wiyasa sebagai tersangka kembali dalam kasus tersebut dengan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang baru, setelah sebelumnya yang bersangkutan menang dalam gugatan praperadilan. Sebenarnya, dalam kasus itu Kejagung menetapkan dua tersangka, Tri Wiyasa dan Wawan Indrawan selaku Kepala Divisi Umum Bank Jawa Barat (BJB).
Wawan dihukum delapan tahun penjara. Vonis kasasi MA diputus sekitar dua bulan lalu. Saat ini Wawan sudah dieksekusi di Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Sedangkan Tri Wiyasa melarikan diri saat akan ditahan dan diajukan ke pengadilan. Kemudian dia mengajukan gugatan praperadilan yang dikabulkan oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan putusan bahwa sprindik dari jaksa tidak sah.
“Dengan putusan terhadap terpidana Wawan yang memiliki kekuatan hukum tetap, penyidik meyakini bahwa penyidikan dugaan korupsi itu sudah benar. Kami tentunya tidak diam dan memeriksa kembali proses persidangan terpidana Wawan hingga berkeyakinan Tri Wiyasa terlibat dalam kasus itu,” paparnya.
Kasus korupsi itu berawal dari direksi Bank BJB yang berhasrat memiliki kantor cabang di Jakarta, kemudian mereka membeli 14 dari 27 lantai gedung T-Tower di Jalan Gatot Subroto Kaveling 93, Jakarta Selatan. Agar rencana berjalan mulus, pihak BJB bernegosiasi dengan PT CLP, perusahaan teknologi informasi yang mengklaim sebagai pemilik lahan di Kav 93 tersebut. Ternyata ada kesepakatan terkait dengan harga pembelian tanah Rp 543,4 miliar.
Hasil rapat direksi BJB, manajemen menyetujui membiayai dengan uang muka 40 persen atau sekitar Rp 217,36 miliar pada 12 November 2012 dan sisanya dicicil senilai Rp 27,17 miliar per bulan dalam kurun waktu satu tahun. Kejanggalan transaksi itu perlahan diketahui. Mulai dari kepemilikan status tanah sehingga rawan terjadi sengketa. Harga tanah jauh di atas harga pasar sehingga pembayaran uang muka menyalahi ketentuan.
Bahkan, terkuak PT CLP ternyata bergerak di bidang informasi teknologi bukan properti. Akibat kecerobohan manejemen Bank BJB dan tidak profesionalnya PT CLP, negara menderita kerugian Rp 217 miliar. (*)