Scroll Untuk Membaca Artikel
Opini

Kemiskinan dan Amplop Said Abdullah

×

Kemiskinan dan Amplop Said Abdullah

Sebarkan artikel ini
Kemiskinan dan Amplop Said Abdullah
FOTO: Mohammad Hidayaturrahman

Kemiskinan dan Amplop Said Abdullah

LIMADETIK.COM – Beredarnya uang Said Abdullah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sempat mengundang polemik dan kontroversi. Setidaknya itu muncul di media sosial dan pemberitaan media mainstream. Uang yang dibagikan tersebut berjumlah Rp 300.000 setiap amplop.

GESER KE ATAS
SPACE IKLAN

Uang yang dibagikan dimasukkan ke dalam amplop berwarna merah dengan gambar diri, bersama gambar Ahmad Fauzi, Bupati Sumenep, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan, yang juga keponakan Said Abdullah.

Selain itu, pada amplop tersebut ada gambar PDI Perjuangan. Uang tersebut diberikan kepada jamaah shalat tarawih di salah satu masjid di Sumenep, Madura, Jawa Timur pada tanggal 24 Maret 2023.

Ada kalangan yang setuju dan senang dengan pembagian uang tersebut. Di antara kelompok yang senang terutama adalah mereka yang menerima uang tersebut. Uang sebesar Rp 300.000 cukup bermanfaat bagi warga pada saat seperti sekarang, kebutuhan pokok melambung tinggi, harga-harga melonjak naik.

Meski tidak bisa menutupi kebutuhan hidup seluruhnya, uang tersebut bisa mengurangi beban biaya belanja. Jumlah tersebut setara dengan kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang pernah diberikan oleh pemerintah kepada warga kurang mampu dan terdampak kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu. Kalangan yang setuju juga tidak mempersoalkan uang tersebut dibagi di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja, dengan cara apa saja. Namanya juga orang memberi dan membagi uang, intinya memberi bantuan.

Namun bagi kalangan yang tidak setuju, apa yang dilakukan Said Abdullah menyalahi etika. Menyalahi etika karena membagikan uang yang dimasukkan ke dalam amplop berlogo partai di dalam masjid kepada jamaah masjid. Hal tersebut dinilai sebagai salah satu bentuk politisisasi tempat ibadah yang selama ini diperbincangkan secara nasional, mengenai larangan menjadikan tempat ibadah sebagai tempat kegiatan politik praktis, baik oleh calon presiden maupun oleh partai politik. Dianggap politisasi tempat ibadah karena pada amplop tersebut tidak hanya ada gambar Said Abdullah bersama Ahmad Fauzi, tapi juga ada gambar partai politiknya.

Menurut Said Abdullah yang disampaikan melalui media, uang tersebut merupakan uang zakat. Bagi kalangan yang tidak setuju, disini pula letak kontroversi tersebut, sebab mengapa dana zakat dibagian dengan amplop berlogo partai. Sebab partai tidak memiliki kewajiban untuk membayar zakat, yang berkewajiban untuk membayar zakat adalah pribadi orang Islam (muslim) yang tidak terikat atau memiliki hubungan atau konteks apapun dengan partai politik.

Apapun partainya sebagai muslim memiliki kewajiban yang sama untuk berzakat, sehingga tidak etis bila zakat diberi embel-embel partai politik. Pemberian dana zakat dengan amplop berlogo partai juga dianggap sebagai bentuk mencampuradukkan antara agama dengan politik.

Kontroversi yang lain adalah, bila uang tersebut merupakan uang zakat, maka bisa jadi pembagiannya tidak tepat sasaran. Sebab mereka yang melaksanakan shalat tarawih tidak semuanya warga miskin dan warga kurang mampu. Orang yang shalat tarawih tidak dikhususkan bagi warga miskin atau kurang mampu, bisa jadi banyak diantara mereka adalah warga yang mampu, dan tidak miskin.

Sementara zakat penerimanya sudah ditentukan golongan atau kelompok yang disebutkan di dalam al-Qur’an salah satunya fakir miskin. Sehingga pembagian zakat harus diberikan kepada salah satu kelompok penerima tersebut. Kalau diberikan kepada warga yang shalat tarawih, besar kemungkinan tidak tepat, karena orang yang menerima uang bukan karena termasuk golongan penerima zakat, tapi karena shalat tarawih di tempat dimana kegiatan pembagian uang berlangsung.

Bila memilih, saya lebih setuju bila pembagian uang seperti yang dilakukan oleh Said Abdullah diteruskan dan dilanjutkan sebagai bentuk amal (charity) kepada warga kurang mampu di wilayah Kabupaten Sumenep. Mengingat Kabupaten Sumenep merupakan salah satu daerah yang masuk kategori miskin ekstrim, yaitu yang kemiskinan warganya cukup dalam. Sehingga bantuan seperti itu akan dapat mengurangi beban biaya hidup warga miskin dan kurang mampu. Para wakil rakyat lain yang berasal dari daerah pemilihan Madura, termasuk wakil rakyat tingkat provinsi dan kabupaten perlu melakukan hal yang sama, rajin membagi uang dan harta mereka kepada warga kurang mampu dan miskin.

Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah tempat pembagian dan waktu pembagian. Dalam soal waktu pembagian Said Abdullah sudah benar karena sudah membagikan setiap tahun, tidak hanya menjelang pemilu atau pilkada saja, namun waktunya yang tidak tepat dibagikan pada saat momen shalat tarawih. Tempat pembagian juga perlu diperhatikan, tidak dilakukan di masjid, karena masjid memang harus steril dari politik praktis.

Lebih bijak lagi bila pembagian uang seperti itu dilakukan langsung ke rumah-rumah warga kurang mampu atau miskin yang ada di pelosok kota dan desa di Kabupaten Sumenep, termasuk Madura secara umum. Pembagian langsung ke rumah-rumah warga yang jelas-jelas miskin lebih tepat sasaran, karena betul-betul menyasar warga kurang mampu.

Pada saat yang sama, pejabat publik seperti Said Abdullah, Ahmad Fauzi, dan wakil rakyat lain yang saat ini masih menjabat, perlu mendorong kebijakan yang betul-betul dapat mengentaskan kemiskinan, sehingga warga Sumenep, dan Madura secara umum bisa keluar dari jebatan kemiskinan ekstrim yang memprihatinkan. Artinya, sebagai pejabat publik dan pemangku kebijakan perlu memikirkan upaya strategis dan berkelanjutan pengentasan kemiskinan di Sumenep dan Madura secara umum.

Jangan sampai, upaya charity yang dilakukan melupakan tanggung jawab lebih besar untuk membuat kebijakan yang harus dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan secara lebih utuh dan menyeluruh, itu perlu campur tangan wakil rakyat dan kepala daerah. Mungkin sudah, tapi publik tidak tahu, mungkin sudah tapi belum dipublikasi, mungkin juga sudah dipublikasi tapi publik belum membaca, atau mungkin juga belum dilakukan, sehingga publik perlu mengingatkan.

Penulis : Mohammad Hidayaturrahman, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Wiraraja dan Direktur Center for Indonesian Reform (CIR)
______________________

Disclaimer: Seluruh isi tulisan ini adalah tanggung jawab penulis sepunuhnya

× How can I help you?