Scroll Untuk Membaca Artikel
NasionalCerpen

CERPEN: Gubuk yang Tak Terbendung

×

CERPEN: Gubuk yang Tak Terbendung

Sebarkan artikel ini
download
Hanya Ilustrasi foto

Sumenep, 4 Maret 2020

LIMADETIK.com – Oleh: Herdayanti.

GESER KE ATAS
SPACE IKLAN

Perkampungan ditengah keluarga yang belum kita terlalu kenal sangatlah tidak mudah, di gubuk itu tempatku memadu asah, tempatku untuk bernaung, tempatku untuk bersuka cita. Itupun hanya menumpang sementara di rumah keluarga tercinta namun tidak untuk terkenang manis, berukuran 10×10 yang dihuni beberapa orang, sebut saja ibunda feri begitulah tetangga kami memanggilnya dan beberapa anaknya yang lain serta 1 sepupu dari ibu.

Waktu itu awal tahun 2016. Masa dimana aku harus menerima pertimbangan serta berjuang dijalan yang menurutku itu adalah hidupku meskipun pada dasarnya sikap yang ku ambil adalah positif, hidup yang membuatku bungkam untuk berbicara sebab pada waktu itu larangan yang membuatku harus berbuat apa dan kemana akan kubawa pelampiasan diriku, dengan tulisan dan temanku Sulis aku pun tidak terlalu dekat dengannya karena sering ngobrol masalah program RQVkala itu.

Masa itu adalah masa dimana aku harus menerima bandingan dan mengerjakan segala sesuatu yang tak pernah ku lakukan dirumahku sendiri serta berjuang bangun pagi kerjakan tugas tanpa mengenal akan waktu yang berlalu entahkah ketukan maupun teguran dari dinding, menurutku tak ada yang beda dalam menjalani kerasnya kehidupan dikala itu, tak mengherankan bagiku akan terbitnya dan tenggelamnya matahari bahkan bila malam telah tiba.

Di rumah itulah segala sesuatu ku lakukakan sendiri namun kehadiran temanku sulis, awalnya kami ngobrol tentang program RQV di suatu tempat yang umumnya sebagai tempat wisata para masyarakat di sana, tempat tersebut bagi orang-orang yang mendapatkan informasi yang tak berguna, saat itu aku seakan wanita yang tak tau adab aku bukan lagi seorang guru yang sering dipanggil oleh anak-anak muridku kala itu tak sempat menyambung lidah kepada salah satu temanku yang ketika itu berstatus sama dengan ku.

“Herda, sapa tante kepadaku, kamu mau kemana sekarang” tanya tanteku. “Mau ke masjid ngajar” jawabku dengan senyum.

“Ya sudah tapi jangan lama, tiap minggu kamu tidak ada dirumah jangan sampai kamu pergi dan yang menjadi alasan kamu adalah ngajar ngajar dan ngajar” begitulah tuduhannya kepadaku. “InsyaAllah aku ada di jalan yang lurus” timpalku dengan singkat dan judes.

“Aku bis saja cek ke sana jika sampai aku tidak melihatmu di sana maka jaga-jagalah” begitulah ancamannya kepadaku. “Oh tidak tante, niatku ada di jalannya aku sama sekali bukanlah cewek yang seperti tuduhanmu, meskipun aku hanya menumpang di sini namun aturan hidupku bukanlah hak mu jika itu bersifat positif” cetusku atas ancamannya.

Lagi pula sambung ku, aku banyak teman yang bias tante tanyai bahkan kalau bisa kirim salah satu orang untuk memata-mataiku, aku juga tau mana yang baik dan mana yang tidak. Namun jika tante tidak mengijinkanku aku gak bakalan ke sana karena ini laranganmu, ujarku dengan sedih.

Waktu terus berlalu sangat panjang seiring berputarnya jarum jam, 1 tahun lebih telah terlewati siksaan hati dan iman menjadi makanan ku kala itu namun tak kusangka pembicaraanku dengan temanku disekolah yang sangat baik yang mengerti akan penderitaanku dia biasa dipanggil Ayu yang saat ini masih menjadi sahabat kesayanganku, yang menjadi penguat keduaku setelah kedua orang tuaku dan kedua adikku yang selalu menghawatirkan keadaanku.

Berawal dari perbincangan tugas kelompok disalah satu ruangan kelas, kebetulan saat itu dia mau menjadi pendengar setiaku, pembicaraan ku dengan ayu pun bukanlah suatu hal yang disengaja maupun direncanakan. Karena sifat keterbukaanku saat itu mengantarkanku kepada senyumanku yang masih padam. Namun tak kusangka dia adalah teman yang kucari selama ini orang yang akan membantuku disaat aku ada sesuatu.

Sesampaiku disekolah dia bertanya kepadaku tentang perlakuan anteku kemarin kepadaku. “Hey.. bagaimana kabarmu kemarin, soalnya kamu kan pulang lambat gara-gara ngerjain tugas” tanya nya kepadaku. “Alhamdulillah gak dimarahin kok, cuma ditanya ini itu aja sama sepupuku” timpalku kepada temanku.

“Lalu apa jawabanmu, apakah yakin cuma itu?” tanya temanku kembali. “Iyya..aku serius kok” menyembunyikan. “ya sudah mari masuk kelas” pintanya.

Setelah jam pelajaran selesai dia melihat diaryku yang didalamnya berisi kesedihan yang kurasakan. Setelah beberapa jam plejaran usai aku pun bergegas pulang sesampainya aku di rmah lontaran pertanyaan dating silih berganti dan pekerjaan demi pekerjaan telah menungguku, tak pernah kubayangkan lelahku setelah pulang sekolah namun lelahku akan terbayar jika semuanya telah usai, kadang kala aku tidak rutin mengajar ke mesjid akibat pekerjaan rumah harus selesai semua. “Sungguh sangat melelahkan bagiku” ujarku di dalam hati.

“Jangan lupa, dan jangan pergi kemana-mana setelah ini masih ada kerjaan yang belum selesai” ujar sepupuku kepadaku. “Tapi hari ini ada tugas ngajar ngaji di masjid, aku mau kesana baru kembali lagi kesini”  pintaku dengan kesal. “ya sudah terserah kamu aja” timpalnya kembali dengan judes.

“Ya udah aku berangkat dulu” ujarku kepadanya.

Setelah itu akupun berangkat kemesjid dan tanpa kusengaja aku meneteskan air mata entah kenapa hari itu hatiku sangat sakit aku merasa bahwa aku di rumah itu kayak hewan peliharaan jika sudah dibutuhkan maka akan dilepaskan namun jika tidak dibutuhkan maka akan kembali ke dalam kandang. Sungguh miris perjalanan hidupku yang harus meminta belas kasihan kepada tante dan sepupuku, namun aku tidak pernah dendam akan perlakuan mereka kepadaku. Dan sampai pada akhirnya aku kembali kepada pangkuan Ayah dan Ibu ku.

Cerita di atasa adalah sebuah cerita yang disadur dari kejadian nyata yang dialami seseorang, mohon maaf jika ada kesamaan tempat, nama dan lainnya. Semua itu hanya kebetulan saja.

Penulis adalah Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep dan Anggota HIMPASS

× How can I help you?