Cerpen

BERTASBIH BERSAMAMU

×

BERTASBIH BERSAMAMU

Sebarkan artikel ini
BERTASBIH BERSAMAMU
Betasbih ilustrasi

BERTASBIH BERSAMAMU

Oleh : Herdayanti

CERPEN – Desiran ombak masih terasa mengguncang kabin kapal, ketika seorang pria berbaju hitam membawa sebuah kamera menabrak ku tanpa sengaja. Kalian tentunya tahu indahnya cinta pada pandangan pertama. Cinta yang datang tanpa permisi dan bisa saja pergi tanpa berpamitan. Ia datang bertelanjang cinta, tak berpeci hitam dan membedik tanpa berkedip. Entah apa yang ingin ia katakan untuk menyambut tatapanku dengan kondisi ombak menghantam semacam harimau menemukan mangsanya. Aku sudah mengerti penyebabnya dan aku benci dengan hal itu. Namun seperti maghrib yang menjadi takdir penghujung setiap hari, teror cinta itupun jua menjadi takdir bagi tangisan serta senyum ku. Cinta datang kepadaku berkali-kali menjumpai pujaannya diantara percikan ombak yang entah kapan akan usai.

Namun aku tak memiliki pilihan hati.
“Maafff……..!”
Sebuah suara merdu dan pintasan potret menghadangku tergeletak disamping kanan kameranku. Pemuda itu memandangi ku dengan rasa penasaran yang begitu membara. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka lebar. Sementara mulutnya sedari tadi menyanyikan suara gumaman tak merdu. Kedua bola mata pujangga itu tak lantas beranjak dari samping kamera yang telanjang pada teras kapal.

Suara kesasar, sebut saja dia cintia. Dilihatnya pagi ini aku bersama pria yang tak dikenalnya, wanita cantik yang bergaya arogan menghampiriku berjalan seperti orang yang sedang mabuk. Cintia tidak mengerti mengapa pemuda tersebut menatapku tanpa henti, sementara pria itu tetap saja tak beranjak meski langkah Cintia semakin dekat, ombak semakin menghantam hingga akhirnya pria dihadapanku beranjak meninggalkan ku setelah melontarkan kata “Maaf” selangkah dari Cintia.

“Itu siapa Nad…?”
Aku pun sontak menjawab. “Hanya Allah yang tahu siapa pemuda tersebut”.
“Memang kamu tidak tahu Nad, apakah dia menyakitimu…?”
Kali ini Cintia melontarkan pertanyaan yang sama sekali tak terjadi kepadaku.

Aku tersenyum. Kagum akan sikapnya yang kaku. Sejak tadi hatiku tak henti berdebar tanpa sebab dan tanpa banyak kata. Pekerjaanku sendiri hanya traveling mencari panorama yang mampu mengusik ketenangan hati serta jiwa. Jadi bukan hanya sekedar hobi, aku melakukannya penuh tentangan dari keluarga. Aku rasa pekerjaan ini tidak sama sekali merugikan ku seperti apa yang telah dikatakan orang tua ku sebelumnya.

Masih dengan segudang rasa penasaran yang menghantui hati dan jiwaku, pemuda itu membawa langkah kakinya masuk kedalam kamar sembari melirikku seakan ingin membidikku, lalu langkah pemuda berusia dua puluh lima tahun itu menjatuhkan sepuntung kertas tepat didepan pintu masuk kapal.

Aku dan Cintia seketika meluncur menghampiri sepuntung kertas yang sengaja ia jatuhkan, entah karena penasaran..? Aku dan Cintia mengambil lalu membuka kertas tersebut, seketika kami terkejut setengah harokat, melupakan tatapan seru tadi dan berebut saling tatap lebih dulu sebelum saling bertanya. Aku yang pertama kali memberikan lembaran kenangan berhasil merebut roh pemuda yang tak tahu siapa namanya, namun tanpa ku sadari ternyata sahabatku Cintia jua mulai mengagumi pemuda tadi. Pikirku Hiruk pikuk akan segera terjadi.

Aku berusaha meyakinkan Cintia bahwa sepuntung kertas tersebut jatuh tanpa sengaja, sebab melalui tatapannya seakan berbicara kepadaku, sementara ia sendiri berusaha menyembunyikan perihal rasanya yang tak karuan. Kami pun bergegas melanjutkan perjalanan kaki kami menuju mahligai mimpi. Kecanggungan antara aku dan Cintia seakan mulai ada. Aku yang sebelumnya tak mengerti dari mana rasa Cintia itu mulai ada, perihalnya Cintia tidak melihat pemuda tersebut dengan jarak dekat, namun aku dan Cintia sudah lama bersahabat dan bisa dibilang kami sudah seperti saudara kandung.

Cintia lalu mengalihkan suasana hening dengan menanyakan pertemuan singkat ku dengan pemuda tampan tadi.

“Nad…bagaimana pertemuanmu dengan pemuda tadi..?”
“Hmmmm…. aku juga tidak tahu, tadi tanpa sengaja dia menabrakku dari belakang”
“Memang belum sempat kenalan apa Nad..?
“Bagaimana mau kenalan, dianya saja hanya terdiam menatapku, akupun tidak tahu maksudnya, dia hanya mengucapkan maaf saja, lalu dia melihat kamu dia pun beranjak pergi, mungkin dia malu”

Cintia hanya menganggukkan kepala, menegakkan duduknya, kepala gadis arogan Cintia itu dicondongkan kedepan, hingga berhadapan cukup dekat dengan wajahku.

“Aneh kan?”
Aku hanya mengangguk tanpa mengelak.
“Memang aneh!”
Cintia kemudian menganggukkan kepalanya lagi sembari tertawa meledek.
“Tidak lucu!” aku serta merta menukas.

Cintia yang tampak menyembunyikan dan berusaha mencairkan suasana meskipun ia tahu bahwa dia ada rasa dengan pemuda tadi.
“Apasih Cin, bukannya kamu yang suka sama pemuda kaku tadi.?”
Aku pun mulai menggodanya balik, sahabat aroganku berkulit langsat itu mulai menyembunyikan mukanya yang seakan memerah.

Aku fikir Cintia akan berubah.
“Perasaan kamu saja Nad, kan yang berpapasan tadi kamu bukan aku!.”

Kebisingan di kapal berlangsung tidak terlalu lama hingga nahkoda melabuhkan manggarnya disalah satu kota yang mempunyai pemandangan yang memikat (Makassar). tidak butuh
waktu lama sebab Cintia yang cerewet dan mempunyai banyak topik mampu menarik waktu.
“Nad, ayo turun..!”

Pemuda tampan dihadapannya memandang penuh lirikan lalu tersenyum kearahku.
“Nad, bukannya itu pemuda yang tadi bersamamu.?”
Tanya Cintia sembari menunjuk kearah pemuda tadi, aku hanya menganggukkan kepala.
“Sudahlah Cin, jangan bahas dia lagi, kita punya kepentingan yang lebih dari pada hanya
ingin mengurusinya!” lirihku dengan nada rendah.
Cintia mulai diam lagi, tapi tidak berselang lama, suara pemuda tadi mulai mengahmpiriku dan cintia.
“Tunggu sebentar nona..!” Panggil pemuda kaku tadi.

“Cin, ayok buruan, gak usah dengerin pemuda aneh itu.!”
Aku dan Cintia berlari menghindari pemuda aneh itu, namun pemuda itu tetap saja mengejar kami.
“Nad, tunggu dulu, pemuda itu terus mengejar kita, aku juga capek Nad..!” Lirih Cintia dengan nada tersendat-sendat.
“Ayolah Cin, kita kan gak kenal dengan orang itu, kita sudah ditunggu Cin.!” Paksa ku.

Cintia mengerutkan kening, bibirnya tak henti bergumam tak jelas. Tiba-tiba terdengar suara
“Aguuuhhh…….”. aku fikir itu suara gerutan Cintia ternyata itu suaraku yang tak sengaja terkilir akibat terbentur dengan krikil yangberada tepat dihadapan kakiku.
“Nad, kamu kenapa…?” Tanya Cintia.
“Kakiku sakit Cin,!” jawabku sembari memegangi kaiku yang sedikit memar.

Tiba-tiba terdengar suara dari samping kananku, suara tersebut sangat jelas seperti suara yang tidak asing lagi, aku fikir itu orang lain ternyata benar saja suara tersebut adalah suara pemuda yang tadi berpapasan dengan ku dikapal.

“Apa kau baik-baik saja..?” Tanya pemuda tersebut sembari mengulurkan tangannya.
Aku hanya melirik tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
“Apa kamu gak lihat, kaki saudara saya terluka gara-gara kamu yang terus mengejar kami.?” Jawab ketus Cintia.
“Saya tidak bermaksud untuk mengejar kalian, saya hanya ingin berteman dengan kalian,
apakah saya salah jika ingin berkenalan dengan kalian..?” Tanya balik pemuda aneh tersebut.
“Mari saya bantu” Pinta pemuda tersebut, mengulurkan tangannya.

Pemuda tersebut pun memberikan bantuan kepadaku, ternyata apa yang menjadi prasangkaku salah, ternyata dia pemuda yang baik. Semenjak bantuan yang ia berikan kepadaku, aku mulai menemukan kembali lelaki yang dapat mengubah pemikiranku dimana kebanyakan lelaki hanya berlandaskan bantuan berujung modus.

“Terima kasih banyak!” Celutukku dengan sedikit senyuman.

“Sama-sama..” Timpal pemuda tersebut.
“Maaf ya, kami fikir kamu bukan laki-laki yang baik, kami fikir kamu mengikuti kami karena ada maksud buruk, sekali lagi kami minta maaf..!” Sambung Cintia.
“Gak apa-apa, santai saja, namaku Zidan aku seorang fotografer yang kebetulan ditugaskan disini, kamu sendiri..?” Tanya Zidan kembali.
“Nama aku Cintia dan ini saudaraku Nadia, kami kebetulan juga ditugaskan di tempat ini.!” jawab Cintia dengan raut wajah yang sedikit mencuri pandang.
“Sudahlah, ini kakiku sedang sakit, kalian malah sibuk saling memperkenalkan diri.” Bantahku dengan nada merengek.

Semenjak itulah aku, Cintia dan Zidan saling bertukar No. Hp. Malam mulai kembali memancarkan kegelapannya dengan alunan embun yang mewarnai percakapan Wa ku dengan Zidan, namun dimalam yang sama Cintia dan Zidan juga saling bertukar candaan, aku dan Cintia yang sekamar pada saat itu saling fokus dengan pria yang sama, namun yang membedakan Zidan yang terlebih dahulu menghubungiku dibandingkan Cintia yang lebih menghubungi Zidan.

Zidan yang pada saat itu tertarik dengan ku berusaha untuk menggulik tentang keluargaku, warna kesukaanku, makanan faforitku, apa yang aku suka dan apa yang tidak aku suka membuatku dihantui rasa risih.

Setelah percakapan panjang kami selesai, aku pun membaringkan tubuhku untuk menemui mimpi malamku, ditambah dengan kelelahan dan amarah yang membuatku jengkel dengan perjalananku hari itu.

“Kkkkkkkkkrrrrrrriiiiiiinnnnnnnggggggg…”
Tak terasa ternyata matahari sudah mengusir malam, seketika aku terdengar suara ketukan suara dari balik ranjang kamarku, ternyata itu adalah suara alaram yang menunjukkan waktu untuk bergegas menemui pemandangan yang sangat indah di kota Makassar. Aku lantas pergi untuk membersihkan badanku. Namun ketika ku bangkit dari tempat tidurku aku tak menemukan Cintia, aku fikir dia sudah berangkat, ternyata dia berada di teras depan sembari menatap ponsel yang sedang dipegangnya.

“Doooorrrr….” Candaku mengagetkan.

“Astagfirullah,,,,, Naaaddd…. Kaget tahu..” Celutuk Cintia sembari mengusap dadanya.
“Jantungku hampir saja lepas gara-gara kamu Nad..!” Sambung Cintia.
“Lagian kamu sih… bengong sendirian, nanti kesambet hantu kamu..” Ledekku.

“Bentar lagi kita berangkat, aku ke kamar mandi duluan ya!” sambungku.
“Ya… jangan lama-lama Nad!” Seru Cintia.

Selang beberapa menit, aku dan Cintia pun berangkat menuju lokasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Lagi dan lagi setibanya kami disana, kami langsung dipertumakan dengan Zidan yang sebelumnya lebih dulu telah sampai, disitu aku baru tahu kalau Zidan adalah part nert kerjaku. Rasa canggung antara aku dan Zidan seketika hadir, namun Zidan mampu mengimbangi sitausi yang hening tanpa kata.

Zidan yang mulai banyak tahu tentang ku merasa bahwa akulah wanita yang selama ini ia cari, akupun demikian, dengan segala percakapan yang panjang meski hanya kisaran waktu 12 jam saja, namun yang membuatku penasaran adalah mengapa sampai saat ini ia belum mendapatkan pendamping dan dia selalu mencari dan mencari, akupun berniat untuk menanyakan alasan yang konkrit perihalnya.

Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan, aku fikir itu adalah suara Cintia ternyata itu adalah suara Asisten Bos kami.

“Zidan, Nadia, kerja jangan ngobrol.” Judes asisten tersebut.
Aku dan Zidan kemudian menoleh kebelakang dan seketika mengambil porsi pekerjaan kami masing-masing.

Hari semakin diatas kepala, dan waktunya kami untuk istirahat. Cintia yang pada saat itu juga mengagumi Zidan berusaha untuk mendekati Zidan dengan mencercah beberapa pertanyaan kepadanya.
“Zid, kamu setelah dari sini mau kemana…?” Tanya Cintia sembari membersihkan tangannya dengan Tissu.
“Masih belum tahu, memang ada apa Cin..?” Tanya balik Zidan dengan nada penasaran.
“Gak apa-apa sih, hanya ingin tahu saja, memang kamu gak ada niat untuk keliling lagi gak, aku tahu kok tempat yang paling indah selain di makassar..!” Ocehnya mengajak.
“Memang dimana..?” tanya Zidan kembali.

“Emmmm…..di Manado..!” jawabnya dengan riang.
“Aku sudah pernah kesana, hanya saja tidak terlalu menarik.” Ucap Zidan berkedok penolakan.

Aku yang pada saat itu ada dilingkaran mereka tidak menyumbangkan ide ataupun gagasan, karena yang ada dipikiranku hanya satu yaitu, ingin segera pulang, bukan karena cemburu tetapi karena capek berteman dengan siang dan ingin malam segera tiba. Waktu sudah mulai senja dan waktunya untuk mengambil gambar bernuansa senja, pengambilan gambar senja menjadi penutup pemotretan kami sore itu dan akhirnya kembali ke markas.

Setibanya di markas, kutemukan sebuah cheat dari balik ponselku yang tidak lain adalah pesan dari Zidan, dalam pesannya ia mengajakku untuk dinner malam ini, tak tahu apa maksud dan tujuannya, namun aku menghargai ajakannya dan akhirnya kami dinner.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00, disitu suasana tiba-tiba hening dan sedikit agak cangggung, seketika dadaku berdetak cepat tanpa henti, dan waktunya telah tiba. Zidan tiba-tiba mengucapkan kata yang pernah kuduga. Setelah perbincangan basa-basi kami.

“Sebelumnya, aku mau tanya, apakah kamu percaya tentang cinta pandangan pertama..?” tanya zidan.
“Percaya atau tidak, itu urusan pribadi buat aku, intinya cinta ataupun perasaan pada dasarnya hakikatnya memang ada.!” Seru ku.

“Sebelumnya, aku ingin menjalin hubungan dengan kamu Nad, itupun kalau kamu mau, kalaupun tidak, kita masih bisa berteman.” Pungkasnya dengan gugup.

Suasana seketika hening kembali. Dengan situasi itu, aku menggunakannya sebagai kesempatan untuk berpikir antara Iyya atau Tidak.
“Sebelumnya aku minta maaf, tetapi aku tidak ingin menjalin sebuah hubungan untuk saat ini, jika memang kamu suka, maka temui kedua orang tuaku dan utarakan apa yang telah kamu utarakan kepadaku.” Jawabku dengan gugup pula.

“Baiklah, aku janji, setelah pemotretan kita selesai, aku akan pulang menemui kedua orang tuaku dan kemudian menemui kedua orang tuamu” Jawabnya dengan nada agak sediti kecewa.

Setelah perbincangan kami selesai, kami pun kembali pulang. Setibaku dirumah aku disambut oleh Cintia yang beranggapan bahwa aku dan Zidan sudah jadian, terlihat dari raut wajahnya, Cintia bahagia, namun matanya agak sedikit berkaca-kaca. Namun aku menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.

Hari terus berjalan sampai pada puncaknya kami kembali kehalaman masing-masing. 1 bulan lamanya aku menunggu janji dari Zidan yang tak kunjung ada kabar, hati gelisah.di dalam hatiku bergumam “Apakah kali ini dia sama seperti laki-laki pada umumnya yang hanya menorehkan janji namun pada akhirnya menguburnya dalam-dalam”. Begitulah gumamku dalam hati.

Waktu terus berjalan sampai pada akhirnya 2 bulan telah lalu dan pada saat itu pula ada seorang pemuda yang berasal dari kota Makassar datang menemui kedua orang tuaku, aku sendiri kaget, dikarenakan kami tidak saling mengenal satu sama lain, dalam fikiranku pemuda tersebut hanya perlu kepada orang tuaku saja, namun tanpa aku inginkan pemuda tersebut meminangku melalui kedua orang tuaku sesaat sesudah mengenalku melalui pamanku.

Aku bimbang anatara menerima ataukah menolak, aku memang tidak memiliki hubungan apapun dengan Zidan, namun aku menanti janji yang sudah ia tabur.

Seminggu setelah kepulangan pemuda tersebut, kedua orang tuaku menerima telfon dari pihak pemuda tersebut dan menanyakan keputusan ku. Dan dengan berat hati aku menerima pinangan tersebut bukan karena iyya kaya namun karena layangan yang selama ini kujaga agar tidak putus kalah dengan terpaan angin, lantas siapakah pemilik sebenarnya, jika pemiliknya sendiripun sudah tak menghiraukannya lagi.

Habis gelap terbit terang yang silih berganti sampai pada hari H, pernikahanku dengan Arkana akan digelar dan aku masih belum menemukan dimana keberadaan Zidan, semenjak itulah harapanku mulai pupus. Dalam hatiku merintih “Maaf Zidan, janji yang telah kugenggam tak dapat lagi untuk kupertahankan, ibarat batu akan berlubang apabila ia terus ditetesi air”.

Sampailah dimana hari pernikahanku telah tiba, dimana iringan musik pengantin dan ijab kabul yang telah dikumandangkan oleh Arkana telah usai, disitu aku mendengar kabar bahwa kamu telah memilih sahabatku Cintia tanpa memberiku kabar, penantian yang kutunggu tak kunjung ada ternyata penantian itu kau hancurkan bersama sahabatku sendiri.

Namun akutidak membeci kalian karena aku yakin dengan aku tidak bersamamu kau akan menemukan cinta sejatimu. Tepat dihari persandinganku, kau jelas datang bersama sahabatku, memberiku ucapan selamat tanpa memikirkan rintihan tangisku dibalik mewahnya resepsiku.

“Sebelumnya aku minta maaf, aku tidak bermaksud menghianati janjiku, namun aku sendiri tidak mengerti sejak kapan perasaan ku kepada Cintia itu ada, aku tidak memberikan kabar kepadamu karena aku takut kamu akan membenci sahabat mu dan aku, semenjak kepulangan kita, entah mengapa tanganku bergetar saat mendengar nama Cintia, sama pada saat aku jatuh hati kepadamu. Selamat untuk hari pernikahanmu, lupakan luka yang telah kuberikan, lahirkanlah kepompong yang nantinya akan membuahkan seekor kupu kupu yang indah.” Tutur maaf Zidan dan Cintia.

“Aku tidak akan marah, karena bukan aku yang meminta kamu untuk berjanji, dan aku tidak akan marah dengan penghianat kalian, karena bukan kalian yang salah namun cintalah yang salah datang disaat yang tidak tepat dan pergi disaat yang tak diinginkan. Terima kasih atas kehadiran dan do’a kalian” Jawabku dengan perasaan berkecamuk.

Acarapun selesai, aku dan suamiku (Arkana) menuju kamar yang nantinya menjadi awal pondasi rumah tangga kami, namun di malam itu, aku masih berderai air mata mengingat peristiwa diacara resepsiku. Rasanya aku ingin membanting diriku sendiri, namun aku sadar bahwa aku sudah bersuami, aku harus melakukan kewajibanku meskipun aku belum menginginkannya. Suamiku lantas berkata setelah melihatku berderai air mata.

“Sudahlah, aku tidak akan menyentuhmu saat ini, biarkan air matamu memuaskan jiwamu, aku akan tidur disofa dan kamu dikamar. Jika kamu masih mencintainya, maka kejar, saya akan mendukungmu demi kebahagiaanmu.” Ucap suamiku sembari mengambil bantal dan membaringkan tubuhnya di atas sofa.

Aku hanya berderai air mata, ternyata dia lebih dewasa dibandingkan aku. Tepat pada 2 tahun pernikahan kami, aku mulai merasa bursalah dengan suamiku, dan akhirnya aku memutuskan dengan beberapa kali memohon petunjuk melalui sholat disepertiga malamku, aku menemukan jawaban bahwa yang saat ini bersamaku adalah jawaban segala doa-doa ku. Aku kemudian menemui suamiku, mengulurkan tanganku dan menyerahkan seluruh jiwa dan rohaniku.

“Abi, ada sesuatu hal yang ingin ku utarakan..” lirihku di atas sofa.
“Ada apa, bicaralah..!” pinta suamiku.
“Aku ingijn mengajakmu untuk bertasbih di atas sajadah, sebagai bukti bahwa aku sudahnmengizinkanmu menjadi imam dalam sholatku dan menjadi jembatanku menuju surga Ilahi.” Pintaku kepadanya.

“Atas dasar apa kamu memutuskan perihal persoalan itu, bukankah kau masih mencintai Zidan..?” Tanyanya balik.
“Zidan masalalu ku sedangkan kamu sudah menjadi tiangku, baik dalam sholatku, bahkan sampai menuju surga-Nya.” Lirihku kembali. “Alhamdulillah, kalau kamu sudah mau menerima dan menyetujui pernikahan kita, insyaallah jika kamu yang meminta, maka aku bersedia untuk Bertasbih Denganmu.