Cerpen

Love Your Self

×

Love Your Self

Sebarkan artikel ini
Love Your Self

Love Your Self

Oleh : Muslimah
Ketua Osis SMA Zainussalim Periode 2023-2024

_____________________________

CERPEN – Aku duduk santai di pesisir seraya meneroboskan pandanganku ke perbukitan yang terdampar menhijau di sekitar.  Pepohonan masih tampak menyelimutinya mesra, tenang, dan damai meredam jenuh yang sedari tadi membayangi.  Bunyi ombak menjadi musik berirama mengalun merdu di telinga seakan bernyanyi dan menari menghiasi suasana pagi ini. Semuanya terasa damai dan seakan sedang baik-baik saja tanpa beban fikiran ketika menikmati susana dan dinginnya angin pagi yang penuh ketenangan.

Cahaya matahari sesekali menghunjam tepat ke arah mata kecilku. Membawa kenangan masa lalu yang sudah mulai terlupakan dalam barisan memoriku. Aku terdiam, hati kembali bergetar, semuanya kembali berkecamuk dalam fikiran tanpa peduli akan kondisi mental yang punya tubuh. Aku menekuk lutut tatkala semuanya terasa buram dengan seiringnya air mata yang mulai berjatuhan. Bayangan itu mulai melintas kembali meski sejak lama berusaha untuk diikhlaskan. Sekarang hanya ada kata SAKIT. Ya sakit!.

”Hei Mira, mengapa kamu diam disini pagi-pagi begini?”. Aku terkejut ketika seseorang memegang bahuku lembut. Ternyata sahabatku, Zulfa.
“Eh..kukira siapa. Ternyata kamu hehe”. Aku mengusap sisa-sisa air mataku.

“Aku mengirimkan pesan padamu tapi tidak ada respon makanya aku langsung menghampiri kamu ternyata kamu tidak ada dirumah. Untung rumahku dekat jadi bisa langsung kesini jika ada sesuatu. Kamu kenapa Mir?”. Aku hanya tersenyum.
“Aku tidak apa-apa kok Zul. Kamu ada apa kok cariin aku?”.

“Mira, kamu gak bisa bohong sama aku karena kita sudah lama berteman jadi aku tahu kondisi kamu yang seperti apa. Aku tahu kamu pasti belum bisa menerima kematian kedua orang tua kamu. Tapi ga baik juga berlarut-larut dalam kesedihan itu karena itu bakal berpengaruh pada mental kamu Mir.

Semuanya memang bakal terasa sulit tapi percayalah semua itu hanya butuh satu, yaitu waktu. Berdamai dan terimalah keadaan Mir.”
Aku menghambur ke kepelukan Zulfa. Semuaya terasa sakit dalam kondisi mentalku yang sedang hancur. Aku bukanlah pengecut yang hanya berdiam diri. Namun sayap-sayapku telah patah termakan masa. Dan sejak kehilangan itu, hari-hariku tak lagi indah brseri. Semuanya sulit untukku terima karena aku sendirian. Ya, sendiri.

“Makasih ya Zul. Kamu mau mengerti kondisiku. Tapi untuk saat ini aku belum bisa benar-benar menerima keadaan. Temanin aku melalu proses ini Zul sampai aku bisa damaidengan semuanya”. Zulfa mengangguk dan mengeratkan pelukannya.

Kita sama-sama kembali ke rumah masing-masing karena kita harus bersiap untuk pergi bersekolah. Aku dan Zulfa sudah kelas XII. Hal itu adalah masa terakhir  bersekolah dan  juga masa sulitku berjuang sendiri dalam menjalani hidup dan mengejar mimpi. Aku bukan kalah ataupun nyerah,  tapi hanya lelah dengan keadaan yang menuntutku bangkit dan menguatkan diri sendiri tanpa support kedua orang tua. Namun aku tetap percaya dengan kata “Nothing proces wich instan, and nothing impossible in the world” jika dibarengi dengan usaha.

Selesai sekolah aku langsung pulang karena sedang tidak ada keinginan untuk ikut kelas tambahan. Aku duduk di kasu dan mengambil foto yang terpajang foto orang-orang yang begitu kusayangi. Semuanya terasa buram seiring air mata yang mulai berjatuhan lagi. Sesak, sakit, capek, semuanya beradu dan kembali membuatku down hingga tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi pahitnya hidup kedepannya.

“Kenapa kalian pergi? Apa kalian tidak ingin melihat prosesku dalam mecapai mimpi? Bagaimana aku harus menjalani hidup ini?. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain kalian karena semuanya menjauh ketika aku dalam keterpurukan. Aku rinduuu…. hikss…. dunia tidak adil. Kenapa semua ini harus terjadi sedangkan aku masih butuh kalian… hiks…”. Aku memeluk erat foto itu hingga tanpa disadari aku terlelap terbawa mimpi yang mampu membuatku lupa akan kenyataan pahit yang kualami meski hanya sebentar.

Aku terbangun ternyata sudah sore hari. Aku bangkit untuk mandi dan pergi ke dapur untuk mengambil makanan siap saji di kulkas.

Tok…tok….tok…..
“Assalamu’alaikum Mir. Ini aku Zulfa”.
“Wa’alaikum salam, sebentar”. Aku bergegas membukakan pintu. “Ayo masuk Zul”.

“Tidak usa Mir. Aku hanya ingin meberimu ini”. Zulfa memberikan sebuah kertas yang bertuliskan tentang Universitas yang lumayan terkenal. “Aku dapat itu dari Ayahku mungkin kamu juga mau daftar di Universitas itu. Dan disana banyak menyediakan beasiswa Mir dan bisa lolos tanpa tes lohh”.

Aku tersenyum. Aku memang sedang lelah dengan semuanya namun akuu lebih tidak mau mengecewakan kedua orang tuaku disana jika melihatku gagal.
“Zulfa, menurutmu apakah aku akan bisa berdamai dan menerima semua kenyataan ini?”.

“Ingat Mir, semuanya akan bisa dilalui seiring berjalannya waktu. Intinya kamu harus berusaha berdamai dan berusaha bangkit dalam kondisi yang bisa dibilang tidak baik-baik saja. Cukup kamu jalani, nikmati, dan syukuri”.

“Aku belum bisa Zul. Maaf ya selama ini aku masih tetap saja seperti ini”. Syukurlah Zulfa bisa mengerti kondisiku dan tidak pernah meninggalkan meski aku belum bisa berdamai seperti yang selalu Dia ucap.

Setengah bulan sudah berlalu sejak Zulfa memberikan kertas beasiswa itu dan sejak itu pulalah Dia menghila tidak menemui ku lagi dan tidak sekolah. Sekarang aku sudan menjadi seorang pengecut dan berhari hari mengurung di rumah sudah menjadi kesukaanku sejak kepergian orang-orang yang aku sayang. Dan kebiasaan buruk melukai diri sendiri telah menjadi teman yang selalu menemani disaat trauma itu datang menyelimuti sepiku.

Berantakan, nyerah, sakit, dan capek yang sedang aku alami sekarang. Tubuhku pun sudah berantakan dengan kondisi yang dipenuhi luka goresan dan mungkin aku sudah dikira orang gila jika keluar rumah.

“Mengapa dunia begitu kejam? Kenapa Tuhan ga adil? Kenapa? Hiks…..”. Aku memeluk erat bingkai foto ayah ibuku dengan sangat erat. Semuanya seakan-akan hanya mimpi namu sakit itu terasa begitu nyata. “Apa sebegitu berdosakah aku hingga Kau tak adil padaku Tuhan…. hikss…”. Aku merebahkan rubuhku hingga terlelap terbawa mimpi setelah meminum obat tidur seperti hari-hari sebelumnya.

Dalam kondisi tidak sadar dan bayangan yang sedikit buram aku melihat wajah ayah dan ibu secara samar.

“Wahhhh….. tempat apa ini Yah?”. Aku tertawa gembira menikmati pemandangan yang begitu indah di depan mata. Ayah Ibu menggandengku dengan lembut dan mengajakku mengelilingi tempat itu. Namu tiba-tiba aku terjatuh dan lututku berdarah. Ibu membantuku kemudian membersihkan darahnya.

“Apakah kamu kesakitan nak?”. Ayahku bertanya. Aku menggeleng. “Apa kamu menimatinya nak?”. Aku mengangguk.
“Sama seperti jalan hidupmu nak. Meski ada banyak rintangan yang bikin kamu jatuh, maka tetaplah nikmati hingga kau tidak merasakan sakit tapi merasa senang dan nyaman dengan menikmati proses itu. Jalani kembali hidupmu yang berwarna nak dan kejarlah mimpimu yang sedari dulu kamu rajut dengan jerih payah jangan sampai berhenti sebelum kamu memetik Hasil”. Ibu mengatakan itu hingga bayangan mereka memudar hingga menghilang.
“Jangan pergi…..hikss….Ayah kembali….”. Aku terbangun.

“Apa arti semua ini?”. Aku terdiam mencerna kata perkata yang mereka katakan. “Apa aku harus kembali seperti dulu lagi? Apa aku harus kembali mengejar mimpiku meski tanpa orang-orang yang aku sayang?”. Semuanya masih berkecamuk tak seutuhnya bisa aku cerna semua kalimat yang orang tuaku katakan.

Keesokan harinya aku kembali menikmati suasana di pesisir yang sekian lama sudah tak aku nikmati. Aku kembali merenung tentang mimpi itu. Apa itu suatu tanda agar aku kembali bangkit dalam keterpurukan ini? Apa mereka benar-benar ingin aku kembali berproses? Entahlah!.

“Ayah, Mama, kalian lagi bahagia kan di surga? Tunggu aku ya sampai kelak bisa bertemu dengan kalian kembali dan bahagia bareng kalian trus”. Aku menatap langit yang masih menguning dan melihat ombak pantai yang sedang surut. Aku menghembus nafas berat seakan semuanya terasa berat difikiran hingga sekarang aku benar-benar merasa menjadi seorang pengecut yang hanya berdiam diri.

Aku kembali ke rumah dengan jalan yang gontai dan tatapan yang lesu. Aku memang ingin kembali seperti dulu namun masih ada sedikit keraguan untuk menjalani hidup sendirian dengan baik dan mencapai mimpi yang sudah sejak lama aku rajut. Aku mengambil obat tidur di lemari yang aku konsumsi ketika sulit tidur sejak kehilangan orang-orang yang aku sayang pergi. Perlahan mata ini mulai terpejam kembali memberi  ketenangan dan meninggalkan fikiran buruk yang selalu datang menyelimuti.

Aku tertawa lepas dengan teman baikku sambil bergandengan tangan. Senyuman manis tak pernah hilang di bibirku ketika melihat zulfa bahagia.

“Mir, jangan buat aku sedih ya dan kamu ga boleh sedih karena jika kamu sedih aku ikutan sedih. Jangan berlarut dalam kesedihan karena masa depan kita masih panjang Mir. Ayo nikmatin masa-masa indah kita sampai kita lupa akan sakit, capek, sedih dan sebagainya”. Aku mengangguk dan tersenyum.

“Aku akan kuat dan sabar terus demi orang tuaku dan kamu Zul. Kalian menjadi rumah buat aku menjadi tempat aku pulang berkeluh kesah”.

“Jika aku tidak ada, kamu ga boleh nyerah ya Mir karena disana aku juga ikutan sedih lihatnya. Kamu harus tetap bangkit meski sendirian karena orang lain tidak akan seterusnya sama kamu terus. Kamu harus pahami diri kamu sendiri karena orang lain tidak akan selalu membantu dengan keterbatasan waktu. Bangkit ya Mir jangan bikin orang-orang yang sayang kamu kecewa”. Zulfa tersenyum namun perlahan menghilang.

“Zulfaa…..”. Aku terbangun. “Apa maksud dengan semua ini? Aku capek… hiks….”. Aku menekuk lutut dengan tatapan kosong. Semuanya berputar difikiran hingga semuanya terasa ngilu. Aku terdiam selama beberapa menit hingga aku berfikir sesuatu yang berkaitan dengan mimpi-mimpi yang aku alami.

“Baiklah, aku akan kembali berproses seperti dulu lagi untuk menjalani hidup ini mesku sendirian dan kembali berusaha mencapai impian dan aku rajut. Aku tidak ingin buat kalian kecewa karena aku terpuruk dan hanya terdiam tanpa berusaha untuk mencapai perubahan yang signifikan. Aku harus lebih mengenali diriku sendiri dan aku yakin pasti bisa!. Aku akan mencari pekerjaan sampingan juga di sela-sela usaha mencapai mimpi”. Aku tersenyum.