Sumenep, 1 Maret 2020.
Limadetik.com – Oleh: Achmad Wahyudi
Di sebuah perkampungan di tengah keramaian kota, (maaf nama kota di rahasiakan) di lorong kecil aku berdiam itupun hidup numpang di rumah kontrakan yang berukuran 4×7 yang dihuni temanku, sebut saja Fi’ie begitu aku dan teman lain memanggilnya. Ketika itu seingatku awal tahun 2009.
Masa itu adalah masa di mana aku harus jatuh bangun berjuang tanpa mengenal waktu. Hentah itu siang ataukah malam, bagiku sama saja dalam menjalani getirnya hidup kala itu. tak jarang aku lupa akan waktu pagi kah atau sudah malam tiba kembali.
Itu adalah masa di mana aku harus menjalaninya dengan penuh duka tanpa suka, sebab ketika itu aku tak tahu harus berbuat apa dan harus kemana lagi membawa diri, dengan teman ku Fi’ie pun aku belum terlalu lama kenal hanya karena sering ngumpul bersama sahabat-sahabat aktivis kampus kala itu.
Dari situlah aku mulai berkomunikasi dengan teman ku Fi’ie, awalnya kami ngopi bareng di suatu tempat yang umumnya sebagai tempat para aktivis kampus berbagi informasi dan mencurahkan imajinasi mereka masing-masing. Walau saat itu aku bukan lagi berstatus sebagai mahasiswa, karena aku sudah lama lulus dari sebuah Kampus di Surabaya namun akhirnya kami begitu nyambung tatkala ngoming sesuatu yang berkaitan dengan mahasiswa dan aktivitasnya.
“Bang, sapa Fi’ie kepadaku, abang tinggal di mana sekarang” begitu ia bertanya pada ku.
“Untuk saat ini aku tinggal manapun tidak masalah” jawabku meraju.
Nampaknya Fi’ie temanku ini tanggap dengan jawaban ku.
“Jika memang abang tidak ada tempat tinggal, tinggallah bersama ku di rumah kontrakan ku bang” begitu dia menawarkan.
“Tapi aku gak mau merepotkan kamu” timpalku singkat.
“Oh tidak bang, aku sama sekali tidak merasa direpotkan kamu, justru aku senang ada teman ku se rumah” Fi’ie mencoba meyakinkan ku.
Lagian sambung Fi’ie, aku di rumah hanya tinggal sama adik perempuamku dan juga tanteku tapi itupun tante ku kadang juga balik ke rumahnya kalau sudah jelang malam. Saat itu aku mulai berfikir apakah ia aku tinggal bersama teman ku ini. Akhirnya dia (temanku) bertanya lagi. “Gimana bang.? dan akupun langsung menjawabnya kali ini, Oke lah kalau begitu aku numpang di kontrakan kamu ya” harapku
Waktu terus berjalan seiring perubahan mas, 3 bulan kemudian tiba-tiba aku kenal dengan seorang wanita yang memiliki paras yang cukup manis dan teduh yang terpancar dari wajahnya, panggil saja dia Rifka (maaf nama disamarkan) yang saat ini dia sudah menjadi istriku, pendampimg setiaku hentah saat suka lebih lebih saat duka dia selalu ada untuk ku.
Berawal kami ketemu di salah satu tempat, kebetulan saat itu dia ternyata Mahasiswi salah satu Perguruan tinggi di Madura dan baru semester 2, pertemuan ku dengan Rifka pun sesuatu yang tidak di sengaja. Karena saat itu aku kebetulan mengantarkan seorang Mahasiswi yang masih satu wilayah dengan ku. Tapi tak dinyana ternya dia adalah teman satu kampus dengan orang yang aku anterin tadi.
Sesampainya di tempat itu, aku bertanya pada orang yang tadi aku antar, panggil sebut saja dia Lyla. “Heh Lyl, itu teman kamu ya.?” tanya ku pada Lyla.
“Yang mana kak” tanya Lyla balik. “Yang itu di samping kiri mu” aku timpali.
“Ohh..itu, iya itu temanku satu jurusan di kampus kak” balas Lyla. “Kenapa kak, Kakak suka ya..? goda Lyla. “Ya gak juga sih, cuma pengen punya teman wanita gitu” jawabku malu. Lyla pun langsung mengenalkan aku sama temannya yang bernama Rifka.
“Kak Rifka kenalin ini kakak ku satu daerah” sapa Lyla pada Rifka. “Owh iya mas saya Rifka” jawabnya.
Tak lama kemudian aku mencoba memberanikan diri meminta nomer Handphone nya. “Boleh bagi nomer telepon gak” tanyaku pada Rifka. Iapun menjawab sedikit agak bertanya. “Buat apa mas nomer teleponku” balik tanya. Lalu akupun tambah beranbi menjawab. “Ya buat jalin komunikasi yang lebih baik dek” rajuk ku memanggilnya.
Tak lama kemudian dia pun menyodorkan hp nya pada ku memperlihatkan nomer kontaknya, dimana masih aku ingat saat itu dia masih memakai hp Nokia tipe 6600 sedang aku sendiri lebih jadul lagi hp nya yakni Samsng tipe E.210. hahah jadi ngakak kalau ingat.
Seiring waktu berjalan, dalam singkat ceritanya kami pun sudah menjalin hubungan (pacaran) hingga suatu ketika Rifka sampai pada usia 19 tahun dihitungan tahun 2009 kala itu. Aku pun mencoba memberikan sebuah Surprise dengan membuatkannya Kue ualant tahun dan sebuah hp Nokia yang sangat murah ketika itu. Saat itu aku sudah bilang sampaikan sama temanku Fi’ie jika ingin merayakan ultah Rifa di rumah kontrakannya, ia pun tidak keberatan dan mendukung ku sepenuhnya.
Hingga tiba pada tanggalnya dimana Rifka bertambah 19 tahun usianya, kue ulang tahun pun sudah aku pesankan dan siap aku hadiahkan padanya. Aku pun coba menelponnya.
“Hallo, Assalamu’alaikum adek..? sapaku dalam saat telepon.
“Wa’alaikussalam warahmatullahi wabarakatuh, ia mas ada apa” sahutnya. Akupun kembali menjawabnya. “Nanti jam 3 sepulang kuliah adek ada waktu gak datang ke rumah kontrakan temanku” pintaku padanya.
“Baiklah mas tar pasti aku kesana” jawabnya singkat tanpa bertanya ada apa. “Ia dek aku tunggu terimakasih” ucapku.
Jarum jam pun akhirnya memasuki pukul 14.40 Wib atau memasuki jam 3 sore perlahan suara sepeda motor Mio Sporti terdengar semakin mendekat ke rumah kontrakan di mana aku di sana menunggunya.
“Assalamu’alaikum mas..? suaranya terdengar mengucapkan salam. Aku pun bergegas membukakan pintu dan menjawab salamnya “Wa’alaikumussalam warahnmatullahi wabarakatu” timpalku. Lalu Rifka masuk dengan senyum khasnya yang teduh menatapku sembari ia menyium tangan ku kebiasaan ketika kami bertemu.
Beberapa saat kemudian aku persilahkan dia duduk, sambil lalu aku masuk ke ruang tengah mengambil kue Ulang tahun yang aku persiapkan untuknya.
“Selamat ulang tahun ya sayang” bersamaan kue ultahnya aku sodorkan. “Mas..?? apa ini..” tanyanya dengan wajah yang sumringah karena merasa bahagia.
“Terimaksih ya mas,.Aku sayang kamu mas” Rifka menjawabnya dengan godaan. Akupun menyuruhnya untuk meniup lilin di kue ulang tahun itu. “Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinya sekarang juga, sekarang juga..” aku silhkan padanya.
Iapun meniup jejeran lilin di atas kue itu sembari berdoa “Ya Allah satu yang aku pinta pada Mu ya Robb, satukanlah kami dalam rahmat mu sampai nanti ajal menjemput kami, Aamiin yaa robb” begitulah bisikan doanya.
Rumah yang berada di lorong kecil itu pun menjadi saksi betapa kami saling mendoakan untuk selalu bersama, namun sesaat setelah kami berdoa tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu tanpa salam. Aku dan teman ku Fi’ie yang saat itu bersama kami membukakan pintunya.
“Oh Ibu, ada apa ya bu.? tanya Fi’ie kepada ibu paruh baya itu. Lalun ibu itupun menjawab “Saya tidak mau rumah saya ini di tempati orang-orang yang gak jelas” ketus ibu itu tanpa bertanya. “Loh ibu memangnya di sini siapa juga yang gak jelas” bantah Fi’ie. Ibu itu kembali meledek sembari menunjuk ke arah kami. “Terus itu siapa, saya tidak kenal mereka berdua. Kenapa dia ada di sini.” tanya si ibu kembali.
“Owh ini abang saya bu, Fadhil dia sudah lama bersama saya di rumah ini, sedangkan yang perempuan ini Rifka pacarnya. Memang kenapa bu ada yang salah dengan mereka” timpal Fi’ie bertanya kepada ibu yang tidak lain pemilik rumah yang di kontraknya.
“Ya sudah kalau begitu saya pamit pulang, tapi pesan saya orang ini tidak boleh ada di sini (rumah saya) karena saya tahu yang ngontrak itu hanya kamu, adik dan tante mu” cletuknya ngeyel.
Fi’ie pun mencoba memberikan pembelaan terhadapku, jika dia punya hak untuk memasukkan siapa saja ke rumahnya selama tidak melanggar ketertiban kampung dan tetangganya. Namun aku mencoba memberikan masukan padanya.
“Udah biarlah tidak apa-apa kok, kamu tidak usah terlalu fikirkan ibu itu, biarkan saja nanti aku akan cari tempat lain” kata ku pada Fi’ie mencoba menenangkannya. “Gak bisa bang, kamu harus tetap di sini bersama kita” jawabnya. Di sisi lain aku mencoba melihat ke arah Rifka wajah nampak terlihat sedih dan air di kelopak matanya mulai perlahan mengalir, sembari aku pun mencoba bertanya.
“Adek kamu kenapa nangis” Aku kasihan sama kamu mas, aku gak tega lihat kamu diginikan” jawabnya lirih.
“Sudah lah, adek tidak perlu mikirkan kan itu” pintaku padanya.
Saat itu pula aku memutuskan untuk pindah dan mencari tempat kos. Disamping Rifka juga mendukungnya. “Besok saya akan cari kosan Fi’ie” ucapku ke temanku.
“Jangan bang, abang harus tetap di sini, tapi aku kembali memberikannya pengertian. “Begini, kita lebih baik mengalah daripada harus ribut – ribut hanya soal tempat” begitu pintaku padanya.
“Ya sudah bang jika memang begitu akau bantu kamu cari rumah kos ya” pinta Fi’ie pada ku. “Baiklah kalau begitu” jawabku.
Hingga ke esokan harinya sekitar jam 9 pagi setelah aku dapatkan rumah kos, kami pun pindah dan pagi-pagi sekali aku sudah melihat orang yang selalu mensupport ku yaitu Rifka yang saat ini telah 11 tahun hidup bersama ku datang sembari membawakan aku sarapan. Dan setelah itu kami pun pindah dari lorong kecil itu.
Cerita di atas semua nama adalah nama yang disamarkan, begitu juga tempat yang disembunyikan. Dan mohon maaf jika ada kesamaan nama dalam cerita di atas, semua itu semata mata hanya pelengkap belaka. Terimakasaih Wassalam.