Scroll Untuk Membaca Artikel

Salah Satu Anggota DPR RI Menolak Untuk di Vaksin ?

×

Salah Satu Anggota DPR RI Menolak Untuk di Vaksin ?

Sebarkan artikel ini
Ribka Djip e1610975322246
Foto: Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP RIbka Tjiptaning (Sumber foto Google)

Oleh : Sidqi Sabilly


Pada tanggal 6 Desember 2020 lalu telah tiba sebanyak 1,2 juta vaksin, yang mana ini merupakan kloter pertama diterima nya vaksin di Indonesia. Kemudian pada tanggal 31 Desember 2020 pemerintah Indonesia menerima kembali vaksin sebanyak 1,8 juta, ini merupakan kloter kedua diterimanya vaksin siap pakai yang diproduksi oleh Sinovac. Pengiriman ini dilakukan secara langsung dari Beijing, China, ke Indonesia menggunakan pesawat Garuda Indonesia. Dan sebanyak 15 juta dosis bahan baku vaksin Sinovac telah tiba di Indonesia pada tanggal 12 Januari 2021, dan direncanakan pada awal tahun ini akan dikirim sebanyak 45 juta dosis bahan baku vaksin Sinovac ke Indonesia secara berkala. Setibanya vaksin di Indonesia, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebelumnya mengatakan bahwa vaksin akan diproses oleh PT. Bio Farma.

GESER KE ATAS
SPACE IKLAN

Pemvaksinan pertama pun telah dilakukan kepada Bapak Presiden Joko Widodo pada Rabu 13 Januari 2021 kemarin. Rencananya pemerintah akan memberikan vaksin corona secara gratis kepada masyarakat dan pemvaksinan ini akan dilakukan dalam program vaksinasi massal di bulan Januari 2021. Namun, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Ribka Tjiptaning secara tegas menolak untuk divaksin Covid-19. Pernyataan ini tentu sangat bertolak belakang dengan sikap Presiden Joko Widodo yang menjadi orang pertama yang disuntik vaksin Sinovac.

Baca Juga : Pentingnya Edukasi Vaksin COVID-19 Kepada Masyarakat

Ribka mengatakan kalau ia tidak mau divaksin apapun itu jenisnya. Bahkan ia memilih untuk membayar saksi dengan keluarganya ketimbang harus menerima vaksin. Hal tersebut ia sampaikan di depan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, pihak BPOM dan PT. Bio Farma. “Saya tetap tidak mau divaksin maupun sampai yang 63 tahun bisa divaksin, saya sudah 63 tahun nih, mau semua usia boleh tetap, misalnya pun hidup di DKI semua anak cucu saya dapat sanksi lima juta mending gue bayar, mau jual mobil kek,” kata Ribka dalam Raker dan RDP di Komisi IX, Kompleks Parlemen.

Ribka sendiri punya alasan mengapa dia menolak untuk divaksin, yaitu setelah mendengar pernyataan dari PT. Bio Farma yang menyebut belum melakukan uji klinis tahap ketiga. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman melihat sejumlah vaksin yang pernah masuk ke Indonesia namun malah memperburuk keadaan. “Saya ngomong lagi nih di rapat ini ya, vaksin untuk anti polio malah lumpuh layu di Sukabumi terus anti kaki gajah di Majalaya mati 12 (orang). Karena di India ditolak, di Afrika ditolak, masuk di Indonesia dengan (anggaran) Rp 1,3 triliun waktu
saya ketua komisi. Saya ingat betul itu jangan main-main vaksin ini, jangan main-main,” tuturnya.

Ribka pun kembali mengatakan dengan tegas kalau ia bakal menolak untuk menerima vaksin. Kalau misalkan ia dipaksa maka menurutnya hal tersebut sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM. “Saya pertama yang bilang saya menolak vaksin, kalau dipaksa pelanggaran HAM. Enggak boleh maksa begitu,” ungkapnya.

Klaim ini tentu saja membuat Ribka menjadi perbincangan ramai dan membuat kehebohan di media sosial. Najwa Shihab selaku pembawa acara berita Mata Najwa pun menguji tiga klaim Ribka Tjiptaning melalui media sosial miliknya. Yang pertama mengenai klaim Ribka soal kejadian lumpuhnya vaksin anti-polio di Sukabumi pada 13 Maret 2005. Seorang balita lelaki berusia 18 bulan di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, yang sebelumnya tidak diimunisasi, mengalami kelumpuhan (masuk kategori virus polio tipe 1). Menurut WHO asal virusnya dari
Afrika Barat. Virus itu menyebar ke Indonesia melalui Sudan. Kasus polio itu berkembang jadi Kejadian Luar Biasa (KLB), menyerang 305 orang di Jawa dan Sumatra (2005-2006). Ini membuktikan kejadian lumpuh layu di Sukabumi bukan terjadi karena mereka divaksinasi anti- polio, melainkan karena mereka memang belum diimunisasi.

Lalu klaim kedua Ribka soal obat anti kaki gajah di Majalaya menyebabkan tewasnya 12 orang. Pada 10 November 2009, ratusan warga dirujuk ke RSUD Majalaya, Kabupaten Bandung setelah pengobatan massal filariasis (kaki gajah). Hasil investigasi dari Komte Ahli Pengobatan Filariasis Indonesia (KAPFI) menyebut banyaknya warga yang berobat karena ketakutan terhadap efek samping yang timbul. Sementara, perihal kasus delapan orang yang meninggal, tiga dari lima orang belum meminum obat tersebut. Adapun lima orang lainnya, memnium obat dengan penyakit lain yang telah diderita sebelumnya. Tiga orang menunjukkan tanda serangan jantung dan dua yang lainnya mengalami gejala stroke. Pemberian obat filariasis oleh kader posyandu tersebut memang dilakukan tanpa pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Mereka hanya mengandalkan pengakuan lisan dan penerima obat. Ini membuktikan bahwa lima dari delapan orang meninggal (bukan 12 orang) yang meminum obat filariasis. Tapi, kelima orang itu punya riwayat penyakit lain yang telah diderita sebelumnya, dan disebut menjadi penyebab
kematian.

Dan yang terakir mengenai klaim Ribka soal vaksin Sinovac disebut belum uji klinis fase III. Pada pertengahan April 2020. China menyetuji untuk memulai uji klinis kandidat vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac. Setelah pertengahan 2020. CoronaVac, nama vaksin dari Sinovac, diuji klinis fase III di Turki, Indonesia, Brazil dan Chile (termasuk di China, dan masih berlangsung). Hasil analisis sementara (interim) uji klinis fase III di Turki menunjukkan efikasi 91,25%. Sementara di Indonesia berada pada angka 65,3%. Di brazil, paparan awal menyebut efikasi 78% (efektif untuk melindungi dari kasus Covid-19 yang gejala tingan hingga parah), dan lantas diperbaharui menjadi 50,4% (dengan memasukkan data sekelompok kasus “infeksi sangat ringan”). Setidaknya sudah ada 4 negara resmi (per 15 Januari 2021) sudah memberikan otorisasi penggunaan darurat (Emergency Use Authorization), sejalan dengan uji klinis yang masih berlangsung. Keempat negara itu adalah China (Agustus 2020), Bolivia (6 Januari2021), Indonesia (11 Januari 2021), dan Turki (13 Januari 2021). Ini membuktikan kembali bahwa
CoronaVac, nama vaksin dari Sinovac, sudah masuk uji klinis fase III (dan masih berlangsung). Penggunaan vaksin ini di Indonesia dan beberapa negara lainnya dilakukan dengan otorisasi penggunaan darurat.

Prof. Dr. dr Cissy Kastasasmita, Sp. A(K), M,Sc selaku Guru Besar FK Unpad juga mengatakan vaksin Covid-19 telah melaui serangkaian pengujian ketat di sejumlah negara termasuk Indonesia. “Mutu dan keamanan vaksin Covid-19 ini tidak perlu diragukan lagi karena sudah melalui fase uji klinik 1 dan 2. Saat nanti Badan POM mengeluarkan izin pengunaan darurat berdasarkan evaluasi dari analisa interim uji klinik 3 di Barzil, Turki, dan Indonesia, maka
terjamin 3 aspek penting: aman, bermutu dan berkhasiat. Selanjutnya, aspek kehalalannya sudah dijamin MUI. Jadi, jangan ragu untuk divaksinasi”.

Berdasarkan hasil uji klinik, efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin Covid-19 sangatlah ringan dan mudah diatasi. Biasanya akan hilang dalam satu atau dua hari paska vaksinasi. Oleh karenanya masyarakat tidak perlu khawatir bahkan takut terhadap vaksinasi. Degan vaksinasi kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga melindungi keluarga dan sesama. Namun, walaupun sudah adanya vaksinasi tak boleh membuat kita abai begitu saja dengan protokol kesehatan, tetap disiplin terapkan protocol kesehatan 3M yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun.


Penulis: Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Jurusan Akuntansi

× How can I help you?