Scroll Untuk Membaca Artikel
Opini

Cekfakta: Tanggung Jawab Baru Jurnalisme Digital di Era Misinformasi

×

Cekfakta: Tanggung Jawab Baru Jurnalisme Digital di Era Misinformasi

Sebarkan artikel ini
10697409 10152329749997242 345522340467549071 o
Wahyu Dhyatmika (University of Westminster, 2004)
Limadetik.com, Oleh: Wahyu Dhyatmika Secretary General of the Indonesian Cyber Media Association

 

Ketika banjir informasi melanda warga internet, kebingungan dan ketidakpastian tak terelakkan. Di media sosial, publik kehilangan sumber rujukan yang bisa dipercaya dan jadi pegangan. Pada momentum seperti ini, jurnalisme digital seharusnya tampil sebagai solusi dengan mengedepankan fungsi cekfakta.

GESER KE ATAS
SPACE IKLAN

Tidak sulit untuk membuat sebuah kabar bohong viral di dunia maya. Hoaks aneka rupa menyebar dengan kecepatan menakjubkan setiap saat. Posting soal bagaimana beras dari plastik konon ditemukan di pasar-pasar tradisional di Bekasi, penampakan pasukan ‘Tiongkok’ di Morowali, Sulawesi Tengah, sampai isu keterlibatan kapal selam nuklir Amerika Serikat dalam ledakan bom di Bali misalnya, dapat dengan mudah ditemukan di media sosial, dibaca dan dibagikan oleh ratusan ribu, bahkan jutaan, orang.

Resep jitu untuk membuat posting hoaks jadi viral memang tak perlu canggih-canggih amat. Yang penting ada sepotong fakta yang terekam dalam bentuk foto atau video, lalu narasinya dibuat provokatif buat memancing emosi, jadilah. Kalau tak ada visual yang relevan, foto dan video yang mirip bisa direkayasa sana sini, supaya si pembuat hoaks terkesan asli alias otentik.

Suka atau tidak, itulah realitas media kita hari-hari ini. Ruang publik kita di dunia maya dikotori oleh informasi beracun macam itu. Platform media sosial yang awalnya didesain untuk mempertemukan orang banyak dan berbagi cerita kini jadi tempat manipulasi masif berskala global.

Celakanya, orang kebanyakan juga sedang dilanda sindroma ‘post-truth’ alias pasca-kebenaran. Mereka mulai kehilangan kepercayaan pada institusi tradisional produsen informasi dan cenderung mencurigai agenda terselubung di balik tabir media massa arus utama. Akibatnya, orang lebih mudah percaya pada kabar burung, kabar angin, dan kabar kibul lainnya.

***

Sudah ada banyak ulasan dan analisa soal bahaya kondisi ini untuk masa depan kita bersama. Dari riset ilmiah sampai karya seni populer berlomba memperingatkan kita akan suramnya dunia ketika disinformasi dan misinformasi merajalela. Beberapa film Hollywood bahkan terinspirasi oleh insiden ini. Yang terbaru, sebuah film dokumenter bertajuk The Great Hack ditayangkan di Netflix dan menggambarkan bagaimana hoaks menggusur demokrasi dan membuat publik terpolarisasi.

Sebuah dunia tanpa rujukan informasi yang bisa dipercaya, diyakini akan mudah terjerumus jadi chaos. Yang ada hanya rusuh, gaduh, berkepanjangan. Kekacauan konstan dalam berbagai bidang akan membuat keamanan, ketentraman dan kesejahteraan semua bangsa terganggu.

Masalahnya, ketika banjir informasi melanda, maka mudah sekali memperoleh narasi yang bertolak belakang di mana-mana. Jangan heran jika oposisi atas pendapat ini juga gampang dicari. Jika Anda belum merasa terganggu dengan derajat kerusakan yang sudah terjadi saat ini akibat perang disinformasi di internet, bisa jadi sumber-sumber informasi yang Anda konsumsi saban harinya perlu ditinjau kembali.

Berawal dari Skandal

Semua diawali dari tiga tahun lalu, tepatnya pada 2016. Itulah momentum yang akan dikenang sebagai tahun ketika hoaks mulai mempengaruhi realitas kita. Pada tahun itu, terjadi dua fenomena yang erat dipengaruhi oleh maraknya manipulasi informasi: Brexit (keluarnya Inggris dari persekutuan Uni Eropa) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat –negara dengan ekonomi paling besar dan kekuatan geopolitik paling berpengaruh di dunia.

Dua peristiwa politik yang mengguncang stabilitas dunia itu sama sekali tidak diprediksi sebelumnya. Analisa pakar dan riset pendahuluan gagal memprediksi keputusan besar yang terjadi melalui proses demokratis yakni referendum dan pemilihan umum tersebut.

Belakangan terungkap bahwa Brexit dan Trump terjadi akibat serangan masif mesin propaganda yang secara terukur dan terkoordinasi menyasar target-target individu tertentu yang sudah dipetakan sebelumnya via media sosial. Propaganda itu menggunakan konten yang sudah dimanipulasi, hoaks yang terorganisir, untuk membangkitkan emosi penolakan, ketakutan dan kecemasan. Munculnya sentimen itu dirancang untuk memicu perilaku tertentu, seperti memilih opsi stabilitas ketimbang ketidakpastian, atau memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu, dan seterusnya.

Produksi hoaks yang terkoordinir itu menjadi lebih efektif karena diarahkan khusus pada individu-individu yang pola kepribadian dan psikologinya sudah dipetakan terlebih dahulu. Mereka yang rentan berubah pilihan, masih ragu dan belum yakin akan sikap dan preferensinya atas kandidat atau opsi tertentu, menjadi sasaran empuk mesin propaganda. Konten yang digunakan untuk mempengaruhi mereka juga sudah disesuaikan dengan titik lemah dalam kepribadian mereka.

Pemetaan kepribadian itu dimungkinkan oleh pencurian data pribadi yang dilakukan firma konsultan digital di Inggris bernama Cambridge Analytica. Bersama seorang pakar data di Universitas Cambridge, Aleksandr Kogan, pada awal 2014, mereka merancang kuis di Facebook yang bisa mengkategorisasi status personal individu hanya dengan menjawab beberapa pertanyaan.

Dengan kuis itu, data pribadi pengisinya dan seluruh daftar temannya di Facebook, juga dicuri dan dianalisa. Terungkap kemudian bahwa ada sedikitnya 87 juta data pribadi pengguna Facebook yang telah disalahgunakan.

Kata kunci yang penting diperhatikan di sini adalah penyalahgunaan data pribadi di media sosial. Manajemen Facebook tentu dikritik tajam karena dinilai gagal melindungi data pribadi penggunanya. Untuk itu, regulator perdagangan federal Amerika Serikat menjatuhkan sanksi pada Facebook berupa denda sebesar US$ 5 miliar atau setara dengan Rp 70 triliun pada akhir Juli 2019.

Tiga Aspek Pertahanan

Analisa atas skandal Brexit dan pemilihan Presiden Amerika Serikat menunjukkan ada sejumlah aspek yang memainkan peran signifikan dalam kedua peristiwa mengejutkan itu. Selain adanya kebocoran data pribadi yang masif di media sosial –yang memungkinkan kampanye hoaks terstruktur yang luar biasa efektif, ada dua aspek lain dari skandal itu.

Aspek berikutnya yang tak kalah penting adalah: kelalaian dari perusahaan teknologi untuk melindungi data pribadi penggunanya. Jika perusahaan yang menyediakan platform komunikasi bersama ini lebih waspada, tentu skema jahat Cambridge Analytica tak akan bisa terealisasi.

Perusahaan digital raksasa juga gagal menyebarkan pemahaman mengenai pentingnya kesadaran soal keamanan digital. Para pengguna media sosial cenderung awam teknologi dan tidak sadar akan potensi masif penyalahgunaan data pribadi mereka sendiri. Hal ini tidak dibarengi dengan upaya sadar perusahaan digital untuk mengingatkan penggunanya.

Sedangkan aspek ketiga yang juga berkontribusi pada terjadinya Brexit dan Trump adalah kegagapan media arus utama menangkal serangan masif disinformasi dan misinformasi. Hoaks yang merajalela itu dibiarkan saja merasuki bawah sadar banyak orang, tanpa ada upaya sistematis untuk menangkal dan membantahnya. Media arus utama sibuk dengan agenda pemberitaan mereka sendiri, yang kadang kala, justru menambah daya sugesti dari kabar bohong yang banyak beredar.

Ke depan, belajar dari dua insiden disrupsi global di atas, ada banyak pekerjaan rumah yang bisa kita lakukan.

Pertama, tentu perusahaan teknologi seperti Facebook harus memastikan data pribadi penggunanya tidak disalahgunakan. Berbagai aturan pengguna soal akses data pribadi kini tampaknya mulai diperkenalkan di sana.

Di sisi lain, kesadaran khalayak ramai bahwa data pribadi adalah harta karun personal yang tidak bisa seenaknya dibagi untuk umum, kini perlahan mulai meningkat. Kampanye literasi digital harus terus digalakkan agar publik paham mengapa data pribadi mereka harus dilindungi dan bagaimana caranya.

Pendidikan serupa harus mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah dan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan resmi anak anak kita. Dalam materi literasi digital, siswa akan diajarkan untuk memahami konsekuensi dari kebocoran data pribadi, hingga teknik untuk melindungi data personal dari jangkauan pencoleng.

Jika aspek kebocoran data pribadi dan keamanan platform digital sudah bisa diatasi, maka peluang kita untuk selamat dari skandal ala Cambridge Analytica di masa depan, naik cukup signifikan. Akan tetapi, kita belum bisa tenang jika bombardir hoaks di dunia maya tidak diatasi dengan tepat. Tanpa serangan balik atas konten-konten manipulatif ini, publik masih bisa terpapar racun informasi dan terpengaruh pola pikir dan keputusannya. Di sinilah kita butuh cekfakta.

Pentingnya Cekfakta

Di era internet, peran jurnalisme memang harus didefinisikan kembali. Wartawan tak boleh bekerja dengan cara yang sama ketika orang masih membaca koran dan majalah cetak. Perilaku audiens sudah berubah, dan seharusnya media massa pun ikut berubah.

Salahsatu peran penting yang bisa diambil para jurnalis digital dalam melawan misinformasi adalah melakukan cekfakta. Ini adalah sebuah format berita yang tepat untuk melawan hoaks dan disinformasi di mana-mana. Genre ini pertama kali populer di Amerika dan Eropa Barat untuk membongkar klaim kebenaran yang bertendensi mendistorsi realitas dan memverifikasi pejabat publik atas ucapan dan pernyataannya dinilai ngawur di hadapan pendukungnya.

Beberapa media di Amerika Serikat bahkan khusus didirikan untuk melakukan cekfakta. Misalnya snopes.com atau politifact.com. Keduanya menerbitkan artikel-artikel yang secara spesifik memeriksa kesahihan pernyataan politikus atau menelusuri akurasi dari kabar-kabar bohong yang kerap beredar di dunia maya.

Dasar metodologinya tak jauh-jauh dari jurnalisme. Setiap kali ada sebuah klaim atau pernyataan yang hendak diverifikasi, para petugas cekfakta pertama-tama memeriksa konten asli dari unggahan yang bersangkutan di media sosial. Prosedur ini penting agar artikel cekfakta tidak terjebak dalam klaim pernyataan yang sebenarnya tidak ada alias fiksi.

Setelah dipastikan memang ada pernyataan atau kabar dimaksud, barulah sumber-sumber informasi yang menunjang kabar itu diperiksa satu demi satu. Foto atau video yang ditampilkan sebagai ilustrasi bisa dengan mudah ditelusuri dengan perangkat lunak di internet yang bisa digunakan untuk melacak otentisitas sebuah foto atau gambar. Klaim-klaim kebenaran bisa diperiksa dengan menelusuri sumber aslinya atau sumber resmi yang otoritasnya tidak diragukan.

Misalnya saja, jika ada kabar yang beredar mengenai peredaran permen berisi narkoba yang mencederai sejumlah anak sekolah di Jawa Tengah misalnya. Jurnalis pemeriksa fakta pertama-tama, harus memastikan informasi itu beredar di media sosial, dan memang cukup viral. Artinya informasi itu cenderung dipercaya oleh para pengguna media soal tersebut. Ini bisa terdeteksi dari jumlah pengguna yang menyaksikan, atau membagikannya kembali.

Setelah itu, jurnalis harus memeriksa di mana info itu pertama kali beredar, adakah foto yang menyertainya yang bisa diverifikasi, dan seterusnya. Petunjuk awal itu kemudian dipakai untuk menggali lebih dalam dengan menemui langsung narasumber kredibel atau sumber primer yang bisa memverifikasi informasi tersebut.

Dengan adanya artikel cekfakta, info hoaks yang selama ini berkembang tanpa tandingan, otomatis kempis. Facebook misalnya, bekerjasama dengan sejumlah media, untuk memeriksa posting posting bertendensi hoaks di platform-nya. Sebuah informasi yang terungkap sebagai hoaks, otomatis akan dibatasi peredarannya dan dicabut hak monetisasinya.

Praktik di Indonesia

Di Indonesia sendiri, inisiatif cekfakta sudah dimulai oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Organisasi para penerbit media digital dan lembaga swadaya masyarakat ini bersama-sama meluncurkan cekfakta.com pada Mei 2018 sebagai proyek kolaborasi puluhan media untuk memeriksa hoaks bersama-sama.

Sepanjang musim kampanye pemilihan umum dan pemilihan presiden 2019 pun, cekfakta rajin melakukan verifikasi secara langsung (live) pada saat debat antar calon presiden dan wakil presiden yang ditayangkan di televisi. Puluhan jurnalis cekfakta dari berbagai media yang jadi mitra proyek ini berkumpul di kantor Google Indonesia, untuk memastikan tak ada calon presiden dan wapres yang bicara ngawur tanpa data.

Bahkan pada hari-h pencoblosan, bersama mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara, para jurnalis cekfakta dari media-media anggota AMSI dan personel Mafindo, kembali bekerja bersama dalam satu ruangan di kawasan bisnis Sudirman, Jakarta Pusat.

Mereka menyisir semua media sosial dan mencari informasi yang terkait hoaks atau disinformasi. Begitu ditemukan, info itu langsung diperiksa, dicek, diverifikasi, dan hasilnya dilempar lagi ke media sosial. Dengan cara itu, cekfakta mencoba membersihkan percakapan dunia maya dari kabar bohong dan manipulasi konten.

Tentu pekerjaan rumah lain masih berderet. Realitas bahwa kerja cekfakta masih terkonsentrasi di Ibu Kota adalah sesuatu yang harus diubah. Media-media di daerah juga dituntut melakukan hal serupa, agar audiensnya cerdas dan mampu memilih yang terbaik. Kualitas artikel cekfakta pun masih harus ditingkatkan.

Akan tetapi, di tengah berbagai kekurangan itu, ada optimisme. Solusi yang jitu sudah ada di depan mata. Dibutuhkan kerjasama antara media, jurnalis dan perusahaan digital, untuk bisa menghadapi bombardir hoaks dan misinformasi. Perang ini tak bisa dihadapi sendiri-sendiri. Butuh kolaborasi dan kesediaan untuk saling bekerja bersama. Hanya dengan cara itu, kita bisa menyelamatkan diri sendiri dan masyarakat kita dari bahaya disinformasi di era digital.

Penulis adalah Editor-in-Chief Tempo.co, Jakarta/
Board member of the Alliance of Independent Journalists (AJI)
Secretary General of the Indonesian Cyber Media Association (AMSI) INDONESIA

Tulisan ini pernah dimuat di Buku Merdeka edisi ketiga.


Sumber: Merdeka.com

× How can I help you?